Sejarah Seni Tari Tradisi Kedidi
Pada tanggal 4 – 7 Juli 2007 peneliti Dr. Julianti Parani, Dosen Senior IKJ, meneliti cerita singkat perjalanan tari Kedidi.
Wawancara dengan bapak Kamarulzaman
terlaksanakan dalam rangka pengumpulan data revitalisasi kesenian Kedidi
bertempat di desa Mendo kecamatan Mendo Barat di pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, tulisan ini
meringkas wawancara dilengkapi dengan kesan sejenak dari observasi tari kedidi
itu sendiri dalam turun lapangan ke desa Mendo beserta referensi sekelumit
sejarah Bangka sekitar kisah pak Kamarulzaman.
Bapak Kamarulzaman adalah pewaris tari Kedidi,
yang lahir tahun 1935 di desa Mendo dari orang tua Mat Ali dan H. Sopiyah.
Sebagai orang Bangka bapak Kamarulzaman telah mengalami tiga zaman periodisasi
sejarah Indonesia dari zaman penjajahan Belanda kemudian penjajahan Jepang dan
akhirnya zaman Kemerdekaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pak
Kamarulzaman juga telah terserao dalam proses multikultural Bangka. Kakeknya
dari pihak ibu adalah Cong A Tet, seorang kepala parit yang berasal dari
Hongkong, sedangkan neneknya orang dari desanya sendiri.
Dimasa mudanya mulai belajar silat dari seorang pendatang
dari Hongkong pula bernama Bong A Tet. Pernah berkunjung ke berbagai tempat di
Indonesia seperti Aceh sebelum tsunami tahun ’69, Jakarta dengan keluarga yang
tinggal di Slipi-Tanah Abang, Kalimantan Selatan, Surabaya dll. Menurut
penjelasannya, atas keperluan keluarga. Namun demikian ia tetap seorang Mendo
Barat yang arif, penuh perhatian pada perkembangan desanya, sederhana, polos
dalam keterangannya, dan tetap konsisten terhadap kepentingan kesenian.
Sebagaimana penduduk Mendo, dimasa mudanya ia pekerja tani, ada kalanya sebagai nelayan, disamping suka
menari kedidi dan pandai pula mengiringi dengan menyanyi dan bermain musik
kedidi, mengisi hiburan panen dan berbagai perayaan desa. Kini di masa senja
kehidupan di kala kondisi fisik sudah menurun, ia telah dapat membina beberapa
generasi muda yang akan dapat meneruskan kesenian kedidi. Menurut penjelasannya
tari kedidi yang pada dasarnya bersifat pelipur lara mendapat inspirasi dari
burung kedidi yang berbulu putih berparuh semacam betet dan berekor lucu kalau
digerakkan. Burung kedidi yang banyak hidup di muara sungai dan rawa-rawa,
sering ditemui nelayan dan gerakannya lucu, terutama gerakan ekornya ketika
loncat dari satu tempat ketempat lain, dari batu ke batu, diatas batang pelepah
yang mengapung di atas air. Burung ini yang hidup di alam terbuka, tidak bisa
ditangkap untuk dipelihara, telah memberi inspirasi kepada nelayan, menghibur
diri bermain-main menirukan gerak-geraknya dalam menyusun tarian, kemudian
iringannya pada mulanya diusahakan dari bahan-bahan yang ditemukan di alam
sekitarnya, seperti kayu-kayu, batok kelapa dan lain-lain. Apabila perahu
sedang melaut kemudian memukul perahu sebagai penghias iramanya. Tarian ini
berkembang menjadi hiburan muda-mudi antara empat atau lima orang kalau lagi
bulan purnama tanggal 13, 14, 15 setiap bulan. Sebagai bentuk kesenian tari
kedidi ini kemudian menjadi lebih menarik ketika diiringi dengan Gambus.
Perkembangan variasi selanjutnya adalah memasukkan unsur silat dan gerak
pedang. Menurut berita sering kali dipertandingkan, dengan demikian memicu
improvisasi gerak dan komposisi serta kepandaian dalam mengembangkan gaya
pribadi. Namun demikian dasar gerak burung kedidi tetap dominan yang dapat
memberi nuansa lincah, lembut, genit, maupun gagah kejantanan dengan unsur
silatnya.
Bapak Kamarulzaman sebagai generasi tua, gerak tarinya
terasa lebih halus, klasik dan stabil dalam gerak kedidinya dibandingkan dengan
yang lebih muda. Memang dalam pengembangan ke generasi berikutnya terlihat ada
inoasi yang tertuju pada variasi ke gerak pinggul, bahu dan kepala dalam
mengembangkan kekuatan gaya pribadi yang dimodifikasi keterpaduannya ke dala
gerak dasar tari kedidi.
Menurut penjelasannya ia belajar menari dari paman-paman
tetangga sekampung Mendo dengan ikut main menari kedidi juga Ketinjak, baik
dalam tari maupun musiknya. Paman-paman tersebut yang semuanya sudah almarhum
antara lain adalah Marimin, Haji Ahmat, Haji Nawi. Menurut cerita
paman-pamannya, begitu penjelasannya, dulu ada seorang bernama Abu Latief yang
pertama menciptakan tari kedidi melalui bermain-main dipantai dan mendapat
inspirasi dari gerak indah dan lucu dari burung kedidi dan terus dicoba-coba
perkembangan gerak tarinya. Abu Latief yang masih jejaka ini, juga yang telah
menciptakan iringan musik dari bahan alami yang ditemuinya dan ketukan gendang
ketika memukul-mukul dinding perahu. Ia sendiri tidak pernah mengenal Abu
Latief, tapi diperkirakan hidup di masa kesultanan Palembang berkuasa atas
Pulau Bangka.
Bapak Kamarulzaman mengingat zaman Jepang dimana dia
mengikuti sekolah dasar Jepang kelas satu, tetapi karena tidak tahan pelajaran
latihan perang maka ia melarikan diri. Sedangkan pada awal-awal kemerdekaan ia
mengingat dimana serdadu sekutu atau NICA datang lewat didesanya untuk
memeriksa adanya anggota TKR dan banyak membunuh orang-orang desa karena
keluarga dari anggota TKR itu.
Keunikan dari bapak Kamarulzaman sebagai tokoh budaya
melestarikan tari kedidi tersebut bukan karena jasa agresif pemberontakan, ambisius
dalam karier politik atau menjadi kaya melalui usaha bisnis. Dia seorang rakyat
biasa, yang dekat dengan lingkungan alamnya, yang menjamin kelestarian
kesenian, walaupun hanya sebagai pelipur lara, namun dapat bermanfaat bagi desa
dan masyarakatnya dan dapat diwariskan sebagai kesenian daerah. Hal ini menjadi
modal dalam memperkuat identitas budaya Bangka dan sumber daya juga dalam
pembangunan pulau Bangka. Menurut beritanya tari kedidi juga terdapat
diberbagai desa lain dipulau Bangka. Hal ini menjadi bukti akan potensi
masyarakat desa di Bangka yang peka berkesenian melalui inspirasi dari alam
lingkungannya sendiri sejak dulu kala. Kreativitas bisa berawal dari orang
sederhana di desa, dan inovasi tidak senantiasa harus muncul dari kemajuan dari
lingkungan urbanisasi. Sayangnya apa yang berkembang dilingkungan non-urban
biasanya masih tertutup atau ditutup-tutupi dan belum mau dikenal secara umum.
Sebagaimana pendapat pak Kamarulzaman sendiri bahwa sekarang masanya sudah
terbuka, jadi kesempatan untuk maju dan kreatif dalam berkesenian hanya tinggal
kemauan untuk tingkatkan kualitas dan mengembangkan serta mempromosikan
apresiasi. Untuk ini perlu program pemerintah, dukungan dan pengertian seniman
serta partisipasi masyarakat secara menyeluruh baik yang di desa maupun di
kota.
demikian sekelumit sejarah singkat Tari Tradisi Kedidi
Penulis,
Moh Agus Yaman
Koreografer/Artistic Director